Jangkauan Cilegon – Ketegangan semakin memuncak di Masafer Yatta, kawasan perbukitan tandus di selatan Hebron, Tepi Barat yang diduduki Israel. Warga Palestina hidup dalam kecemasan menyusul peningkatan serangan dari pemukim Israel bersenjata dan ancaman pembongkaran paksa yang membayangi belasan desa di wilayah tersebut.
Ali Awad (27), warga Desa Tuba, menggambarkan suasana mencekam yang ia alami setiap malam. Ia dan para pria desa harus bergiliran berjaga untuk melindungi keluarga mereka dari potensi serangan.
“Pemukim Israel bertopeng menunggang kuda mengitari rumah kami. Kami tahu mereka menginginkan kekerasan. Kami hanya beruntung kali ini dia menghilang sebelum polisi tiba,” kata Awad kepada The Guardian, Senin (7/7/2025).
Malam Mencekam, Siang Tak Menenangkan
Bahkan di siang hari, ketegangan tidak mereda. Warga tetap siaga, memperhatikan suara kendaraan dan langit sekitar, waspada terhadap datangnya buldoser yang bisa berarti mulai penggusuran paksa.
Pemerintah Israel sejak 1981 menetapkan Masafer Yatta sebagai Zona Tembak 918, secara resmi mereka jadikan zona pelatihan militer. Status ini membuat pemukiman sipil kawasan tersebut dianggap ilegal oleh otoritas Israel. Namun demikian, sekitar 1.200 warga Palestina tetap bertahan, memperjuangkan hak tinggal mereka selama lebih dari dua dekade melalui jalur hukum.
Putusan Baru Israel Ancam Picu Pemindahan Paksa Massal
Situasi semakin genting setelah Biro Perencanaan Pusat Administrasi Sipil Israel, sebuah badan militer yang mengatur izin konstruksi di wilayah Palestina, mengeluarkan keputusan penting pada 18 Juni 2025. Putusan itu secara otomatis menolak semua permohonan izin bangunan Masafer Yatta dan menghentikan celah hukum yang selama ini menggunakan warga untuk mempertahankan rumah mereka dari pembongkaran.”
Kantor HAM PBB menyatakan bahwa jika Israel menjalankan putusan ini, maka tindakan tersebut dapat mengkategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena mengancam mengusir ribuan warga secara paksa.
“Pemindahan paksa warga sipil dalam konteks ini merupakan pelanggaran berat hukum internasional, terutama jika dilakukan secara sistematis,” tulis pernyataan resmi PBB pada 26 Juni 2025.
Baca Juga : Tak Ada Pengurangan, Trump Tetap Kenakan Indonesia Tarif 32 Persen
Kekhawatiran Internasional dan Ketidakpastian Masa Depan
Langkah administratif terbaru ini memicu reaksi keras dari komunitas internasional, pengacara hak asasi, dan kelompok advokasi Palestina. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai upaya sistematis untuk mengusir warga Palestina dari tanah leluhur mereka dan menggantinya dengan pemukiman ilegal Israel.
Sementara itu, warga Masafer Yatta hanya bisa berharap dan bertahan. Mereka terus berjaga di tengah malam yang gelap, berdoa agar rumah dan tanah mereka tidak mereka ratakan saat fajar menyingsing.
Kesimpulan
Kondisi di Masafer Yatta mencerminkan eskalasi tekanan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Ketika diplomasi internasional belum mampu menghentikan langkah-langkah agresif otoritas Israel. Ribuan keluarga Palestina kini menghadapi kenyataan pahit: kehilangan rumah dan kampung halaman yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.